Minggu, 12 Juni 2016

Guru Dipenjara oleh Muridnya

         Artikel ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dalam Pendidikan, dengan dosen Dr, Suryadi dan Dr. Desi Rahmawati, M.Pd
           Melihat adanya kekerasan terhadap anak, khususnya di dunia pendidikan. Penulis sebagai pihak yang pernah menjadi siswa tentu merasa marah terhadap guru tersebut. Namun, di lain pihak, penulis pun akan menjadi seorang yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan meskipun tidak menjadi seorang pendidik. Kekarasan yang terjadi di dunia pendidikan merupakan suatu hal yang sangat disayangkan.
Hal ini akan mencoreng eksistensi dari instansi pendidikan, yaitu sekolah. Yang mana kejadian ini harus disikapi dengan bijak. Sebagai  orang terdidik, kita tidak boleh hanya termakan oleh perasaan atau asumsi semata. Melihat dari berita atau kronologis kejadiannya memang bisa dikatakan menyalahkan satu pihak. Namun, secara teliti haruslah dianalisis lebih dalam lagi mengenai pemberitaan ini.
Inilah kronologis kejadian, kasus pencubitan seorang siswi yang mengakibatkan gurunya dipenjara. Berita ini diolah dari beberapa sumber oleh penulis. Dilansir dari beberapa sumber, salah satunya dari tribunews.com pada 14 Mei 2016
Guru bidang studi biologi SMP Negeri 1 Bantaeng, Nurmayani, dibui di Rumah Tahanan Kelas II Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Ade bercerita kerabatnya terseret pidana penganiayaan terhadap dua muridnya yang bermain air lalu cipratannya mengenai Nurmayani yang hendak salat sunah Duha.
Air sisa pel lantai tersebut yang entah siapa menyiram mengenai Nurmayani. Setelah itu Nurmayani meminta Tiara dan Virgin menemuinya di ruangan Bimbingan Konseling.
Setelah berada di ruangan Bimbingan Konseling, Nurmayani menghukum keduanya.
Melalui akun media sosial, Minggu (14/5/2016), Tiara menceritakan pembelaan diri soal peristiwa yang ia alami pada Jumat itu.
"Dia mencubit paha kanan dan paha kiriku sampai lebam," cerita Tiara yang saat itu terus menghindar karena kesakitan kena cubit. Tiara menangis tapi tiba-tiba Nurmayani melayangkan tinju kirinya ke dada lalu ke pipi kiri Tiara.
"Kalau tidak mau berhenti menangis, mukaku akan ditinjunya lagi," kenang Tiara sambil menambahkan bahwa Nurmayani menyebutnya sebagai anak setan.
Setelah penghukuman yang menyakitkan itu, Tiara pulang ke rumah dan memperlihatkan luka lebam di tubuhnya kepada ayahnya, Ipda Irwan Efendi.

Berdasarkan potongan berita di atas dapat dikatakan kasus tersebut bermula saat seorang guru hendak solat duha dan tersiram air oleh dua orang muridnya. Akhirnya kedua murid tersebut dibawa ke ruang BK (bimbingan konseling). Di ruangan tersebut kedua siswi SMPN 1 Bantaeng mengalami kasus kekerasan, yaitu pencubitan dan pemukulan.
Berdasarkan kronologis kejadian di atas korban mengalami tindak kekerasan atau penganiayaan. Sebagaimana definisi penganiayaan menurut pasal 351 ayat 1 KUHP, Penganiayaan bisa diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka, termasuk juga perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan orang[1].
R. Soesilo[2] dalam buku KUHP juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan  “rasa sakit”.  “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

Maka berdasarkan kasus yang disebutkan di atas pelaku melakukan kekerasan fisik. Atas perbuatan itu pelaku dapat dikenakan UU No 23 Tahun 2002 pasal 80 Perlindungan Anak tentang kekerasan fisik.
(1)         Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Memberikan hukuman fisik tentu akan menyebabkan kerusakan pada beberapa anggota tubuh korbannya. Orang yang mengalami kekerasan fisik, biasanya juga  mengalami kekerasan psikologis dalam waktu yang sama. Sebelum melakukan kekerasan fisik, biasanya pelaku kekerasan lebih dahulu melakukan ancaman, bentakan, atau hal-hal lain yang membuat korban takut.
Namun, bila dilihat dari sisi hukum dalam pendidikan, perlu ada hukum yang membela pendidik (guru). Karena bila hanya membicarakan UU perlindungan anak, hanya akan membela mengenai hak-hak anak tersebut. Pertanyaannya adalah siapakah yang akan membela hak-hak guru?
Jawabannya adalah hukum, undang-undang, peraturan pemerintah atau apapun itu. Ya, itu semua memang benar. Permasalahannya di Indonesia belum ada hukum yang secara jelas membela hak-hak guru untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Bila seorang guru menindak seorang siswa yang bisa dikatakan “nakal” kemudian menghukumnya dengan mencubit dan ini termasuk penganiayaan.  Maka dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada siswa. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Maka hukuman seperti apa yang tepat untuk memberi pelajaran dan pembinaan kepada siswa.
Sebagai seorang mahasiswa manajemen pendidikan, saya diajari perkembangan peserta didik. Memberikan hukuman yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik adalah dengan menegur dan menasihatinya. Karena ini merupakan cara lain yang digunakan tanpa kekerasan.
Namun, tingkat penyadarannya tidak terlalu kuat dibandingkan dengan hukuman secara fisik. Kekerasan disini memiliki arti hukuman fisik, yang tingkat penyadarannya lebih kuat daripada hanya menegur dan menasehati. Karena hukuman secara fisik bisa menjadi shock therapy. Yang mana hal ini akan langsung menyadarkan seseorang akan kesalahannya. Sebab, untuk bisa sampai pada tingkat sadar itu memang sering menyakitkan.
Jika pencubitan itu disebut sebagai kekerasan, haruskah “pencubitan”  itu dihukum?. Padahal itu bermaksud baik, yaitu menyadarkan orang (siswa) akan kesalahannya. Haruskah sang pahlwan tanpa tanda jasa itu di bui?
UU Perlindungan Anak tidak membolehkan cara kekerasan. Setiap bentuk perlakuan fisik yang menyebabkan si korban “merasa sakit” akan disebut kekerasan. Oleh karena itu, saya bisa katakan bahwa UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Para guru tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut akan sanksi dari UU Perlindungan Anak. Guru pun menjadi dilematis dalam memberi sanksi.
Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya bab terkait hak dan kewajiban anak, ada banyak pasal berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban anak hanya satu pasal saja (pasal 19).
 Bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini: Setiap anak berkewajiban untuk : 1.menghormati orang tua, wali, dan guru; 2.mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3.mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 4.menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5.melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Muncul pertanyaan, jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan kepada anak? Selama ini tidak ada yang melihat hal ini. Banyak orang hanya disibukkan untuk melihat hak anak, sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang selalu ditindak.
Namun, bagaimana dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak/diberi sanksi?
Seperti contohnya, jika seorang siswa yang sedang upacara bendera bercanda dengan temannya. Mereka tidak hikmad mengikuti upacara. Padahal upacara bendera merupakan momen sakral di negara ini. Hal ini merupakan contoh bahwa siswa itu tidak melakukan kewajiban no. 2, yaitu mereka tidak cinta tanah air.
Lalu bagaimana dengan seorang siswa yang berkata kasar kepada gurunya. Ini bisa disebut sebagai pelanggaran karena siswa itu tidak melaksanakan kewajiban no. 3 yaitu tidak menghormati gurunya.
Sanksi yang penulis maksud disini bukanlah hukuman penjara. Karena berbicara mengenai hukuman tentu memiliki makna yang luas. Pada kenyataannya, tidak ada sanksi jelas yang akan menindak pelanggaran siswa ini. Artinya setiap siswa yang melanggar kewajibannya sesuai UU tidak akan terkena hukuman untuk saat ini.
Apakah guru punya wewenang melaporkan siswa yang tidak melaksanakan kewajibannya ke polisi? Dan apa sanksi untuk anak tersebut? Perlu diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan kewajiban harus seimbang.
Para pembaca sekalian mungkin masih ingat mengenai pelajaran hak dan kewajiban di sekolah. “Jalankan dulu kewajibannya,  baru mendapatkan hak-haknya”. Sungguh tidak bijak bila penulis hanya menganalogikan dengan hal sederhana itu.  Hal ini bisa jadi cerminan bahwa hal besar ini berawal dari hal kecil yang tidak terselesaikan secara kekeluargaan.
Seseorang tidak bisa hanya menuntut haknya saja tanpa melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan Anak, perlu ditinjau kembali mengenai keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri.








[2] R. Soesilo merupakan penulis dari buku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar