Artikel ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dalam Pendidikan, dengan dosen Dr, Suryadi dan Dr. Desi Rahmawati, M.Pd
Melihat adanya kekerasan
terhadap anak, khususnya di dunia pendidikan. Penulis sebagai pihak yang pernah
menjadi siswa tentu merasa marah terhadap guru tersebut. Namun, di lain pihak,
penulis pun akan menjadi seorang yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan
meskipun tidak menjadi seorang pendidik. Kekarasan yang terjadi di dunia
pendidikan merupakan suatu hal yang sangat disayangkan.
Hal ini akan mencoreng
eksistensi dari instansi pendidikan, yaitu sekolah. Yang mana kejadian ini
harus disikapi dengan bijak. Sebagai
orang terdidik, kita tidak boleh hanya termakan oleh perasaan atau
asumsi semata. Melihat dari berita atau kronologis kejadiannya memang bisa
dikatakan menyalahkan satu pihak. Namun, secara teliti haruslah dianalisis
lebih dalam lagi mengenai pemberitaan ini.
Inilah kronologis
kejadian, kasus pencubitan seorang siswi yang mengakibatkan gurunya dipenjara.
Berita ini diolah dari beberapa sumber oleh penulis. Dilansir dari beberapa
sumber, salah satunya dari tribunews.com pada 14 Mei 2016
Guru bidang studi biologi SMP Negeri 1 Bantaeng, Nurmayani, dibui di
Rumah Tahanan Kelas II Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Ade bercerita kerabatnya terseret pidana penganiayaan
terhadap dua muridnya yang bermain air lalu cipratannya mengenai Nurmayani yang
hendak salat sunah Duha.
Air sisa pel lantai tersebut yang entah siapa menyiram
mengenai Nurmayani. Setelah itu Nurmayani meminta Tiara dan Virgin menemuinya
di ruangan Bimbingan Konseling.
Setelah berada di ruangan Bimbingan Konseling,
Nurmayani menghukum keduanya.
Melalui akun media sosial, Minggu (14/5/2016), Tiara
menceritakan pembelaan diri soal peristiwa yang ia alami pada Jumat itu.
"Dia mencubit paha kanan dan paha kiriku sampai
lebam," cerita Tiara yang saat itu terus menghindar karena kesakitan kena
cubit. Tiara menangis tapi tiba-tiba Nurmayani melayangkan tinju kirinya ke
dada lalu ke pipi kiri Tiara.
"Kalau tidak mau berhenti menangis, mukaku akan
ditinjunya lagi," kenang Tiara sambil menambahkan bahwa Nurmayani menyebutnya
sebagai anak setan.
Setelah penghukuman yang menyakitkan itu, Tiara pulang
ke rumah dan memperlihatkan luka lebam di tubuhnya kepada ayahnya, Ipda Irwan
Efendi.
Berdasarkan potongan berita di atas dapat dikatakan kasus
tersebut bermula saat seorang guru hendak solat duha dan tersiram air oleh dua
orang muridnya. Akhirnya kedua murid tersebut dibawa ke ruang BK (bimbingan
konseling). Di ruangan tersebut kedua siswi SMPN 1 Bantaeng mengalami kasus
kekerasan, yaitu pencubitan dan pemukulan.
Berdasarkan kronologis kejadian di atas korban
mengalami tindak kekerasan atau penganiayaan. Sebagaimana definisi penganiayaan
menurut pasal 351 ayat 1 KUHP, Penganiayaan bisa diartikan sebagai perbuatan
dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka, termasuk
juga perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan orang[1].
R. Soesilo[2]
dalam buku KUHP juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “rasa sakit”. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul,
menempeleng, dan sebagainya.
Maka berdasarkan kasus
yang disebutkan di atas pelaku melakukan kekerasan fisik. Atas perbuatan itu
pelaku dapat dikenakan UU No 23 Tahun 2002 pasal
80 Perlindungan Anak tentang kekerasan fisik.
(1)
Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Memberikan hukuman fisik tentu akan
menyebabkan kerusakan pada beberapa anggota tubuh korbannya. Orang yang
mengalami kekerasan fisik, biasanya juga
mengalami kekerasan psikologis dalam waktu yang sama. Sebelum melakukan
kekerasan fisik, biasanya pelaku kekerasan lebih dahulu melakukan ancaman,
bentakan, atau hal-hal lain yang membuat korban takut.
Namun, bila dilihat
dari sisi hukum dalam pendidikan, perlu ada hukum yang membela pendidik (guru).
Karena bila hanya membicarakan UU perlindungan anak, hanya akan membela
mengenai hak-hak anak tersebut. Pertanyaannya adalah siapakah yang akan membela
hak-hak guru?
Jawabannya adalah
hukum, undang-undang, peraturan pemerintah atau apapun itu. Ya, itu semua
memang benar. Permasalahannya di Indonesia belum ada hukum yang secara jelas
membela hak-hak guru untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Bila seorang guru
menindak seorang siswa yang bisa dikatakan “nakal” kemudian menghukumnya dengan
mencubit dan ini termasuk penganiayaan. Maka
dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani
memberikan hukuman kepada siswa. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak
main-main. Maka hukuman seperti apa yang tepat untuk memberi pelajaran dan
pembinaan kepada siswa.
Sebagai seorang
mahasiswa manajemen pendidikan, saya diajari perkembangan peserta didik.
Memberikan hukuman yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik adalah
dengan menegur dan menasihatinya. Karena ini merupakan cara lain yang digunakan
tanpa kekerasan.
Namun, tingkat
penyadarannya tidak terlalu kuat dibandingkan dengan hukuman secara fisik.
Kekerasan disini memiliki arti hukuman fisik, yang tingkat penyadarannya lebih
kuat daripada hanya menegur dan menasehati. Karena hukuman secara fisik bisa
menjadi shock therapy. Yang mana hal
ini akan langsung menyadarkan seseorang akan kesalahannya. Sebab, untuk bisa sampai
pada tingkat sadar itu memang sering menyakitkan.
Jika pencubitan itu
disebut sebagai kekerasan, haruskah “pencubitan” itu dihukum?. Padahal itu bermaksud baik,
yaitu menyadarkan orang (siswa) akan kesalahannya. Haruskah sang pahlwan tanpa
tanda jasa itu di bui?
UU Perlindungan Anak
tidak membolehkan cara kekerasan. Setiap bentuk perlakuan fisik yang
menyebabkan si korban “merasa sakit” akan disebut kekerasan. Oleh karena itu,
saya bisa katakan bahwa UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di
sekolah. Para guru tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut akan
sanksi dari UU Perlindungan Anak. Guru pun menjadi dilematis dalam memberi
sanksi.
Dalam UU Perlindungan
Anak, khususnya bab terkait hak dan kewajiban anak, ada banyak pasal berkaitan
dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban anak hanya satu pasal saja
(pasal 19).
Bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk : 1.menghormati orang tua, wali, dan guru;
2.mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3.mencintai tanah air,
bangsa, dan negara; 4.menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5.melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Muncul pertanyaan,
jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan
kepada anak? Selama ini tidak ada yang melihat hal ini. Banyak orang hanya
disibukkan untuk melihat hak anak, sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang
selalu ditindak.
Namun, bagaimana
dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti
yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak/diberi sanksi?
Seperti contohnya,
jika seorang siswa yang sedang upacara bendera bercanda dengan temannya. Mereka
tidak hikmad mengikuti upacara. Padahal upacara bendera merupakan momen sakral
di negara ini. Hal ini merupakan contoh bahwa siswa itu tidak melakukan
kewajiban no. 2, yaitu mereka tidak cinta tanah air.
Lalu bagaimana dengan
seorang siswa yang berkata kasar kepada gurunya. Ini bisa disebut sebagai
pelanggaran karena siswa itu tidak melaksanakan kewajiban no. 3 yaitu tidak
menghormati gurunya.
Sanksi yang penulis
maksud disini bukanlah hukuman penjara. Karena berbicara mengenai hukuman tentu
memiliki makna yang luas. Pada kenyataannya, tidak ada sanksi jelas yang akan
menindak pelanggaran siswa ini. Artinya setiap siswa yang melanggar
kewajibannya sesuai UU tidak akan terkena hukuman untuk saat ini.
Apakah guru punya
wewenang melaporkan siswa yang tidak melaksanakan kewajibannya ke polisi? Dan
apa sanksi untuk anak tersebut? Perlu diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan
kewajiban harus seimbang.
Para pembaca sekalian
mungkin masih ingat mengenai pelajaran hak dan kewajiban di sekolah. “Jalankan
dulu kewajibannya, baru mendapatkan
hak-haknya”. Sungguh tidak bijak bila penulis hanya menganalogikan dengan hal
sederhana itu. Hal ini bisa jadi
cerminan bahwa hal besar ini berawal dari hal kecil yang tidak terselesaikan
secara kekeluargaan.
Seseorang tidak bisa
hanya menuntut haknya saja tanpa melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu,
berkaitan dengan UU Perlindungan Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan
antara hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani
kesalahan pada guru. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan Anak,
perlu ditinjau kembali mengenai keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak
itu sendiri.
[1] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5428dd5e1e339/memukul-dengan-tangan-kosong,-termasuk-penganiayaan-ringan-atau-berat?
Diakses pada 11 Juni 2016 pukul 20.00 WIB
[2] R. Soesilo merupakan penulis dari
buku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar