Minggu, 12 Juni 2016
Guru Dipenjara oleh Muridnya
07.01
Artikel ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dalam Pendidikan, dengan dosen Dr, Suryadi dan Dr. Desi Rahmawati, M.Pd
Melihat adanya kekerasan
terhadap anak, khususnya di dunia pendidikan. Penulis sebagai pihak yang pernah
menjadi siswa tentu merasa marah terhadap guru tersebut. Namun, di lain pihak,
penulis pun akan menjadi seorang yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan
meskipun tidak menjadi seorang pendidik. Kekarasan yang terjadi di dunia
pendidikan merupakan suatu hal yang sangat disayangkan.
Hal ini akan mencoreng
eksistensi dari instansi pendidikan, yaitu sekolah. Yang mana kejadian ini
harus disikapi dengan bijak. Sebagai
orang terdidik, kita tidak boleh hanya termakan oleh perasaan atau
asumsi semata. Melihat dari berita atau kronologis kejadiannya memang bisa
dikatakan menyalahkan satu pihak. Namun, secara teliti haruslah dianalisis
lebih dalam lagi mengenai pemberitaan ini.
Inilah kronologis
kejadian, kasus pencubitan seorang siswi yang mengakibatkan gurunya dipenjara.
Berita ini diolah dari beberapa sumber oleh penulis. Dilansir dari beberapa
sumber, salah satunya dari tribunews.com pada 14 Mei 2016
Guru bidang studi biologi SMP Negeri 1 Bantaeng, Nurmayani, dibui di
Rumah Tahanan Kelas II Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Ade bercerita kerabatnya terseret pidana penganiayaan
terhadap dua muridnya yang bermain air lalu cipratannya mengenai Nurmayani yang
hendak salat sunah Duha.
Air sisa pel lantai tersebut yang entah siapa menyiram
mengenai Nurmayani. Setelah itu Nurmayani meminta Tiara dan Virgin menemuinya
di ruangan Bimbingan Konseling.
Setelah berada di ruangan Bimbingan Konseling,
Nurmayani menghukum keduanya.
Melalui akun media sosial, Minggu (14/5/2016), Tiara
menceritakan pembelaan diri soal peristiwa yang ia alami pada Jumat itu.
"Dia mencubit paha kanan dan paha kiriku sampai
lebam," cerita Tiara yang saat itu terus menghindar karena kesakitan kena
cubit. Tiara menangis tapi tiba-tiba Nurmayani melayangkan tinju kirinya ke
dada lalu ke pipi kiri Tiara.
"Kalau tidak mau berhenti menangis, mukaku akan
ditinjunya lagi," kenang Tiara sambil menambahkan bahwa Nurmayani menyebutnya
sebagai anak setan.
Setelah penghukuman yang menyakitkan itu, Tiara pulang
ke rumah dan memperlihatkan luka lebam di tubuhnya kepada ayahnya, Ipda Irwan
Efendi.
Berdasarkan potongan berita di atas dapat dikatakan kasus
tersebut bermula saat seorang guru hendak solat duha dan tersiram air oleh dua
orang muridnya. Akhirnya kedua murid tersebut dibawa ke ruang BK (bimbingan
konseling). Di ruangan tersebut kedua siswi SMPN 1 Bantaeng mengalami kasus
kekerasan, yaitu pencubitan dan pemukulan.
Berdasarkan kronologis kejadian di atas korban
mengalami tindak kekerasan atau penganiayaan. Sebagaimana definisi penganiayaan
menurut pasal 351 ayat 1 KUHP, Penganiayaan bisa diartikan sebagai perbuatan
dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka, termasuk
juga perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan orang[1].
R. Soesilo[2]
dalam buku KUHP juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “rasa sakit”. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul,
menempeleng, dan sebagainya.
Maka berdasarkan kasus
yang disebutkan di atas pelaku melakukan kekerasan fisik. Atas perbuatan itu
pelaku dapat dikenakan UU No 23 Tahun 2002 pasal
80 Perlindungan Anak tentang kekerasan fisik.
(1)
Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Memberikan hukuman fisik tentu akan
menyebabkan kerusakan pada beberapa anggota tubuh korbannya. Orang yang
mengalami kekerasan fisik, biasanya juga
mengalami kekerasan psikologis dalam waktu yang sama. Sebelum melakukan
kekerasan fisik, biasanya pelaku kekerasan lebih dahulu melakukan ancaman,
bentakan, atau hal-hal lain yang membuat korban takut.
Namun, bila dilihat
dari sisi hukum dalam pendidikan, perlu ada hukum yang membela pendidik (guru).
Karena bila hanya membicarakan UU perlindungan anak, hanya akan membela
mengenai hak-hak anak tersebut. Pertanyaannya adalah siapakah yang akan membela
hak-hak guru?
Jawabannya adalah
hukum, undang-undang, peraturan pemerintah atau apapun itu. Ya, itu semua
memang benar. Permasalahannya di Indonesia belum ada hukum yang secara jelas
membela hak-hak guru untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Bila seorang guru
menindak seorang siswa yang bisa dikatakan “nakal” kemudian menghukumnya dengan
mencubit dan ini termasuk penganiayaan. Maka
dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani
memberikan hukuman kepada siswa. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak
main-main. Maka hukuman seperti apa yang tepat untuk memberi pelajaran dan
pembinaan kepada siswa.
Sebagai seorang
mahasiswa manajemen pendidikan, saya diajari perkembangan peserta didik.
Memberikan hukuman yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik adalah
dengan menegur dan menasihatinya. Karena ini merupakan cara lain yang digunakan
tanpa kekerasan.
Namun, tingkat
penyadarannya tidak terlalu kuat dibandingkan dengan hukuman secara fisik.
Kekerasan disini memiliki arti hukuman fisik, yang tingkat penyadarannya lebih
kuat daripada hanya menegur dan menasehati. Karena hukuman secara fisik bisa
menjadi shock therapy. Yang mana hal
ini akan langsung menyadarkan seseorang akan kesalahannya. Sebab, untuk bisa sampai
pada tingkat sadar itu memang sering menyakitkan.
Jika pencubitan itu
disebut sebagai kekerasan, haruskah “pencubitan” itu dihukum?. Padahal itu bermaksud baik,
yaitu menyadarkan orang (siswa) akan kesalahannya. Haruskah sang pahlwan tanpa
tanda jasa itu di bui?
UU Perlindungan Anak
tidak membolehkan cara kekerasan. Setiap bentuk perlakuan fisik yang
menyebabkan si korban “merasa sakit” akan disebut kekerasan. Oleh karena itu,
saya bisa katakan bahwa UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di
sekolah. Para guru tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut akan
sanksi dari UU Perlindungan Anak. Guru pun menjadi dilematis dalam memberi
sanksi.
Dalam UU Perlindungan
Anak, khususnya bab terkait hak dan kewajiban anak, ada banyak pasal berkaitan
dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban anak hanya satu pasal saja
(pasal 19).
Bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk : 1.menghormati orang tua, wali, dan guru;
2.mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3.mencintai tanah air,
bangsa, dan negara; 4.menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5.melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Muncul pertanyaan,
jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan
kepada anak? Selama ini tidak ada yang melihat hal ini. Banyak orang hanya
disibukkan untuk melihat hak anak, sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang
selalu ditindak.
Namun, bagaimana
dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti
yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak/diberi sanksi?
Seperti contohnya,
jika seorang siswa yang sedang upacara bendera bercanda dengan temannya. Mereka
tidak hikmad mengikuti upacara. Padahal upacara bendera merupakan momen sakral
di negara ini. Hal ini merupakan contoh bahwa siswa itu tidak melakukan
kewajiban no. 2, yaitu mereka tidak cinta tanah air.
Lalu bagaimana dengan
seorang siswa yang berkata kasar kepada gurunya. Ini bisa disebut sebagai
pelanggaran karena siswa itu tidak melaksanakan kewajiban no. 3 yaitu tidak
menghormati gurunya.
Sanksi yang penulis
maksud disini bukanlah hukuman penjara. Karena berbicara mengenai hukuman tentu
memiliki makna yang luas. Pada kenyataannya, tidak ada sanksi jelas yang akan
menindak pelanggaran siswa ini. Artinya setiap siswa yang melanggar
kewajibannya sesuai UU tidak akan terkena hukuman untuk saat ini.
Apakah guru punya
wewenang melaporkan siswa yang tidak melaksanakan kewajibannya ke polisi? Dan
apa sanksi untuk anak tersebut? Perlu diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan
kewajiban harus seimbang.
Para pembaca sekalian
mungkin masih ingat mengenai pelajaran hak dan kewajiban di sekolah. “Jalankan
dulu kewajibannya, baru mendapatkan
hak-haknya”. Sungguh tidak bijak bila penulis hanya menganalogikan dengan hal
sederhana itu. Hal ini bisa jadi
cerminan bahwa hal besar ini berawal dari hal kecil yang tidak terselesaikan
secara kekeluargaan.
Seseorang tidak bisa
hanya menuntut haknya saja tanpa melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu,
berkaitan dengan UU Perlindungan Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan
antara hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani
kesalahan pada guru. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan Anak,
perlu ditinjau kembali mengenai keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak
itu sendiri.
[1] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5428dd5e1e339/memukul-dengan-tangan-kosong,-termasuk-penganiayaan-ringan-atau-berat?
Diakses pada 11 Juni 2016 pukul 20.00 WIB
[2] R. Soesilo merupakan penulis dari
buku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sabtu, 11 Juni 2016
Menjadi Mahasiswa Berprestasi 2019
03.10
Menjadi
mahasiswa berprestasi merupakan impian semua mahasiswa. Karena, mahasiswa
berprestasi atau biasa disingkat mawapres adalah salah satu bentuk apresiasi
tertinggi kepada setiap mahasiswa yang mempunyai dedikasi tinggi bagi kemajuan
lingkungannya(khususnya lingkungan kampus). Dilihat dari kriteria penilaiannya,
seorang mawapres tentu bukan mahasiswa biasa. Seorang mawapres pastilah
mempunyai segudang prestasi. Baik prestasi akademik maupun prestasi non
akademik. Perlu ditekankan disini bahwa prestasi yang dicapai bukan hanya
akademik tapi non akademik juga.
Di Indonesia
sendiri terdapat sistem pemilihan mawapres berjenjang. Tahap pertama yang harus
dilalui oleh setiap mahasiswa yang ingin menjadi Mawapres adalah mengikuti
tahap penyeleksian di tingkat jurusan masing-masing. Setiap mahasiswa harus
memenuhi beberapa kriteria penilaian. Pertama, seorang mawapres adalah seorang
mahasiswa aktif suatu perguruan tinggi (universitas, institut dan semacamnya)
yang minimal sedang menempuh semester 3. Seorang mawapres tentunya dituntut
mempunyai IPK yang tidak terlalu rendah (minimal 3,00).
Selain itu,
seorang mahasiswa yang ingin menjadi mawapres harus bisa menguasai bahasa
asing. Bahasa asing yang harus dikuasai adalah bahasa Inggris (utamanya).
Seorang mawapres tentu harus mempunyai kemampuan bahasa inggris di atas
rata-rata mahasiswa pada umumnya.
Syarat
berikutnya adalah aktif dalam sebuah organisasi. Karena seorang mawapres tidak
hanya dituntut untuk baik dalam hal akademik tetapi baik pula dalam bidang non
akademik. Semakin banyak seorang mawapres melakukan kegiatan sosial, hal
tersebut akan memperbesar kesempatan mahasiswa tersebut untuk memenangkan juara
I Mawapres tingkat nasional.
Sama
seperti mahasiswa pada umumnya, saya pasti ingin menjadi mawapres. Hal pertama
karena ingin menguji sejauh mana kemampuan yang saya miliki untuk menjadi
seorang mawapres. Jika saya menjadi mawapres tentu saya mempunyai kompetensi
diatas rata-rata dibandingkan mahasiswa pada umunya. Sudah pasti, jika saya
bisa menjadi mawapres akan menjadi kebanggaan orang-orang terdekat dan
khususnya diri saya.
Tentu saja
menjadi mawapres tidaklah mudah. Menjadi mawapres tidak semudah seperti meniup
api di lilin hingga padam atau membalikkan telapak tangan. Menjadi mawapres
pastinya membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Karena saya percaya dan
yakin bahwa sesuatu yang besar diperoleh dengan kerja keras yang luar biasa dan
tentunya proses yang tidak instan.
Oleh karena itu,
saya berusaha memantaskan diri untuk bisa menjadi mawapres dimulai dari
sekarang. Saya tidak mau hanya “berawang-awang” untuk menjadi mawapres. Saya
ingin merealisasikannya. Dengan meningkatkan kemampun dan berbagai keahlian
yang saya miliki. Maka dari itu saya harus mempersiapkan diri saya dari
sekarang. Lalu, persiapan seperti apa yang saya butuhkan?
Pertama, saya
akan meningkatkan kemampuan bahasa inggris. Saya berpikir bahwa kemampuan
bahasa inggris yang saya miliki masih jauh dari kata cukup. Saya ingin menjadi
seorang yang tidak hanya aktif dalam bahasa inggris. Namun, menjadi orang yang
dapat menjadi pembicara menggunakan bahasa inggris. contohnya, saya ingin
menjadi seorang narasumber yang menyampaikan isi materi menggunakan bahasa
inggris.
Menjadi seorang
presenter bahasa inggris pun ingin saya kuasai. Ada rasa yang sangat luar biasa
ketika saya bisa berbicara di depan umum menggunakan bahasa inggris. Itulah
alasannya saya sangat ingin menguasai kemampuan public speaking
dalam bahasa inggris. Namun, karena kemampuan bahasa inggris saya yang kurang
memadai. Saya hanya bisa melakukan public speaking
di momen-momen tertentu saja. Dan hal ini tentu membuat saya sedikit kecewa.
Jika saja saya bisa menjadi “mastering of English”
atau like native
speaker tentu kesempatan itu tidak akan saya lewati.
Saya akan
menjadi mastering
of English dengan cara berlatih percakapan bahasa inggris setiap hari.
Percakapan yang saya lakukan bertujuan untuk melatih saya terbiasa mengucapkan
bahasa inggris. Hal ini tidak sulit saya lakukan, karena saya berada di Arsama Mahasiswa
Islam Sunan Giri (ASG).
Tempat dimana banyak mahasiswa berprestasi menghuninya. Termasuk saya sendiri
tinggal disana.
Insyaallah saya
akan menyusul para senior saya yang telah terlebih dahulu menjadi mahasiswa
berprestasi pada bidangnya masing-masing. Itu pula yang menjadi pemicu saya
untuk mau menjadi mahasiswa berprestasi. Yaitu, karena banyaknya senior saya di
ASG yang mempunyai prestasi luar biasa.
Kedua, saya berharap bisa mengunjungi kampung inggris di Pare setiap untuk
meningkatkan kemampuan bahasa inggris. Selain itu, saya mulai mengikuti club
debat bahasa inggris UNJ, yang dikenal dengan nama EDF ( English Debating
Family). Menurut saya, dengan mampu berdebat menggunakan bahasa inggris
mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang diatas rata-rata.
Saya pun yakin
dengan mengikuti Lembaga kajian mahasiswa (LKM) UNJ dapat menopang keinginan
saya untuk dapat menjadi mastering of English.
Karena, LKM sendiri tidak hanya bergerak dibidang literasi bahasa Indonesia.
Saya akan
mengikuti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HIMA) Manajemen Pendidikan untuk dapat
menunjang keorganisasian saya. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya,
untuk dapat menjadi seorang mawapres harus memperhatikan aspek sosialnya juga.
Salah satunya dengan mengikuti organisasi. Organisasi yang bisa diikuti tidak
hanya terbatas pada organisasi internal kampus. Melainkan dapat mengikuti
organisasi eksternal lainnya.
Saya
berkeinginan untuk dapat menjadi ketua BEM jurusan manajemen pendidikan
UNJ pada tahun 2017. Saya akan memulai dengan aktif berorganisasi di wiliyah
internal kampus. Karena, untuk memulai suatu hal yang berada di luar
(organisasi eksternal) kampus harus mempunyai sedikit pengalaman dalam
berorganisasi di internal kampus.
Selain kedua hal
diatas, saya sebagai seorang mahasiswa pun harus memperhatikan aspek akademik.
Yaitu nilai kuliah. Saya tidak ingin menjadi mahasiswa organisatoris tetapi
mempunyai IPK yang kecil. Saya mempunyai tekad kuat untuk dapat mencapai nilai
cum laude pada wisuda nanti. Tentunya hal tersebut harus dimulai dari semester
ini (semester I).
Saya akan
meluangkan waktu setiap malam (minimal satu jam) untuk dapat me-review kembali
apa yang telah saya pelajari di kelas. Sehingga saya dapat mempertahankan
prestasi akademik saya. Membaca buku minimal seminggu sekali akan saya jalani
untuk dapat menunjang prestasi akademik saya. Melakukan diskusi bersama
para kawan (mahasiswa UNJ, warga Asrama Sunan Giri, dan seluruh teman-teman
seperjuangan saya) tentu menjadi hal yang wajib untuk dapat meningkat
pengetahuan saya.
Kemudian, saya akan mulai mengikuti lomba-lomba berskala nasional sampai
internasional. Hal ini bertujuan untuk meningkat daya saing saya. Saya ingin
menjadi mahasiswa berjiwa saing global, yang tidak hanya mampun bersaing di
negeri sendiri. Namun, dapat bersaing dengan seluruh dunia. Alasan lainnya
adalah untuk dapat memperbesar kesempatan saya untuk dapat menjadi mawapres.
Karena seorang mawapres dituntut untuk mempunyai prestasi di tingkat nasional
bahkan internasional.
Menjadi
mahasiswa yang dapat berpestasi di tingkat internasional dapat dijadikan
sebagai acuan bahwa mahasiswa tersebut mempunyai kapasitas untuk berkompetisi
secara global. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman mengenai mahasiswa yang
berwawasan global. Inilah yang menunjukan bahwa bahasa inggris merupakan suatu
hal mendasar yang dibutuhkan untuk dapat berkompetisi di era global saat ini.
Seperti yang
telah penulis sebutkan diatas, menjadi seorang mahasiswa berprestasi merupakan
hal yang didambakan hampir seluruh mahasiswa di Indonesia, bahkan mungkin semua
mahasiswa. Namun, banyak pula yang tidak mengetahui apa saja yang diperlukan
untuk menjadi seorang mahasiswa berprestasi.
Sedikit, penulis
akan me-review kembali apa yang telah penulis tulisan pada artikel ini mengenai
syarat untuk menjadi mahasiswa berprestasi atau mawapres. Yang pertama
adalah menguasai bahasa inggris (yang biasanya disebut dengan kemampuan bahasa
asing), aktif dalam berorganisasi (semakin tinggi kedudukan mahasiswa tersebut
dalam organisasi, maka semakin tinggi pula point yang akan didapat mahasiswa
tersebut untuk menjadi mahasiswa berprestasi).
Mempunyai IPK
(Indeks Prestasi Kumulatif) yang cukup tinggi, yaitu 3,00 paling minimal.
karena, seorang mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang bisa menyeimbangkan
antara prestasi akademik dan non akademik. Selanjutnya adalah membuat makalah
ilmiah. ini merupakan syarat untuk menjadi mahasiswa berprestasi. Makalah yang
diajukan merupakan makalah yang belum pernah ada (orisinil buatan mahasiswa
tersebut). Jika yang diajukan merupakan makalah yang pernah dibuat orang lain,
perlu adanya inovasi dalam makalah tersebut.
Menjadi
mahasiswa berprestasi memang penting. Tapi jauh lebih penting, jika kita bisa
lebih bermanfaat bagi orang lain. Saya percaya “tidak ada gading yang tak
retak, tak ada manusia yang sempurna”. Saya, Purwo Besari mahasiswa
manajemen pendidikan 2015, Universitas negeri Jakarta. Semoga apa yang telah saya
tulis dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.
Jakarta, 15 Oktober 2015
Asrama Mahasiswa Islam Sunan Giri
Segregasi Pendidikan di Amerika & Indonesia
02.19
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa
negara Amerika Serikat merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan demokrasi. Negara tersebut juga telah memahami peristiwa Bill of Right dan
dapat melahirkan Declaration Of
Idependence. Bill
of Right yang dianut oleh pemerintah Amerika Serikat telah menempatkan hak
asasi manusia pada sistem hukum negara tersebut. Salah satu isi dari Bill Of Right
diantaranya negara melarang adanya perbudakan, negara harus melindungi hak
warga negara untuk memilih dan menentang penyangkalan atas ras, warna kulit,
dan jenis kelamin. Selain itu, Declaration of
Independence telah mendeklarasikan bahwa semua manusia diciptakan sederajat
oleh sang pencipta dan mereka dikaruniai hak-hak tertentu yang tidak dapat
dicabut, hak-hak tersebut diantaranya hak kehidupan, kemerdekaan dan usaha
mencari kebahagiaan. Akan tetapi, pada kenyataannya negara tersebut belum dapat
merealisasikan nilai yang terkandung dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan adanya sikap
diskriminatif terutama terhadap warga negara kulit hitam, sikap diskriminatif
ini terlihat sampai tahun 1960-an. Sikap tersebut ditunjukan dengan adanya
peraturan yang membeda-bedakan fasilitas antara kulit putih dan kulit hitam,
masyarakat kulit hitam dianggap sebagai masyarakat inferior atau kelas bawah.
Selain itu, sebagian besar masyarakat kulit hitam belum mendapatkan hak-hak
sipil. Hal tersebut mendorong munculnya gerakan-gerakan sosial yang dilakukan
oleh warga negara kulit hitam yang menantang segala bentuk diskrimanasi.
Gerakan ini bertujuan untuk memberikan jaminan hak asasi terhadap semua warga
negara serta menghendaki pemerintahan yang demokratis.
Selain itu, kita mengetahui bahwa Amerika
Serikat merupakan salah satu negara yang penduduknya memiliki tingkat
heterogenitas tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan hidup dan berkembangnya
berbagai ras dan etnik di negara ini. Akan tetapi, masyarakat kulit putih di
Amerika sulit untuk mengasimilasi masyarakat kulit hitam. Tindakan
diskriminatif terhadap warga negara kulit hitam telah memunculkan
pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh mereka yang menghendaki suatu proses
ke arah persamaan yang nantinya sangat berpengaruh besar terhadap
perjalanan sejarah bangsa Amerika Serikat.
Kesamaan kesempatan pendidikan adalah
sikap nondiskriminatif bahwa setiap warga negara tanpa memandang ras, warna
kulit, kecacatan, jenis kelamain, kelas sosial atau bentuk-bentuk stratifikasi
sosial lainnya, berhak untuk diberi kesempatan yang sama dalam memasuki
suatu program pendidikan. Satu-satunya faktor yang membedakan mereka adalah
bakat dan minat pribadinya yang bermuara pada kemampuan akademiknya. Para
peserta didik yang mempunyai minat dan bakat yang tidak terealisai harus
dibuat sadar akan keterbatasannya dan dengan bantuan pendidik dapat
mempertimbangkan kembali pendidikan atau bidang yang sesuai dengan minatnya.
Kasus tersebut pernah terjadi di
Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda terjadi segregasi pendidikan. Hal
serupa yang dialami sebagian mayoritas warga negara Amerika terjadi di
Indonesia. Adanya pembedaan hak-hak sipil bagi sebagian kalangan. Diskriminasi
ini terjadi antara kaum bangsawan dan kaum pribumi biasa. Kaum pribumi biasa
dilarang untuk mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh
pemerintah Belanda. Adanya pembedaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
bagi semua warga negara Indonesia perlu dipelajari lebih dalam. Sehingga, kasus
segregasi yang ada di Amerika dan di Indonesia dapat dianalisis. Proses
analisis ini diperlukan untuk mengetahui perbedaan-perbedaan pada kasus di
kedua negara tersebut.
Hal ini diperlukan untuk mendapatkan data
akurat mengenai tindakan segregasi di Indonesia. Karena, di Indonesia
mengalamai masa Kolonialisme dari beberapa negara. Dan Belanda merupakan negara
terlama yang menjajah di Indonesia. Sehingga, cukup banyak pengaruh yang
diberikan oleh negara tersebut terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Pendidikan pada zaman Belanda mempunyai
tujuan untuk menyediakan tenaga untuk bekerja pada kantor-kantor pemerintahan
Belanda. Pada zaman penjajahan Jepang mengalami pemerataan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan. Semua kalangan boleh merasakan pendidikan, khususnya
sekolah formal. Pada sekolah yang didirikan oleh pemerintahan Jepang melarang
penggunaan bahasa Belanda. Para siswa hanya boleh menggunakan bahasa Indonesia
dan Jepang saja.
Setelah Indonesia merdeka, terjadilah
perubahan sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang dibuat disesuaikan dengan
kebutuhan negara Indonesia. Hingga, pada awal tahun 2000-an dibuatlah sistem
pendidikan untuk menghasilkan SDM yang dapat bersaing di kancah dunia. Para
peserta didik di Indonesia saat ini disiapkan untuk mampu menjawab tantangan
global dan mempunyai daya saing.
Langganan:
Postingan (Atom)